Jumat, 28 Maret 2008

BETAPA INGINNYA AKU MENCINTAIMU

(Bagi Yang Mencari dan Belum menemukan Dimana Cinta Itu)

Medio Juli 2001

Tidak ada bulan madu, menurutku semua hanya perjalanan kodrati tanpa kekuatan cinta. Expresi tanpa nyawa dari kebutuhan mendasar manusia. Juga tidak ada keterikatan, buatku. Hanya sebuah tanggung jawab dari sebentuk janji yang sekuat janji para nabi. Sungguh. Juga penghambaan pada-Nya, yang telah menggariskan pertemuan ini. Meski masih sering muncul Tanya, mengapa laki-laki ini yang Ia kirimkan? Apa istimewanya? Tapi aku tidak berani kurang ajar dengan berlaku seenaknya. Suami adalah qowwam. Bahkan dengan predikat itu, ia telah dengan sukses mengkudeta kedudukan orang-orang terdekatku. Ayah, Ibu, Adik… juga sahabat. Terlebih ketika aku telah jauh dari mereka. Ribuan kilo jaraknya. Ah. Tadinya kupikir cinta dan rindu akan datang begitu saja, saat aku telah resmi menjadi istrinya. Ternyata ? Benar kata orang jawa, witing tresno jalaran saka kulina, tumbuhnya cinta karena telah terbiasa. Dan dia? Bahkan aku masih merasakan asing dan jauh. Bisakah waktu menyelesaikan semuanya? Semoga. Bukankah Allah yang menjanjikan cinta itu? Waja’alnaa bainakum mawaddataw wa rohmah. Tapi setahuku tidak begitu saja dikaruniakan, tetap ada sebuah upaya kemanusiaan untuk menggapainya. Terlebih kami menikah dengan semangat dakwah. Bukan menuruti emosional atau sekedar selera manusia. Maka aku yakin, janji Allah akan kami temui.

Akhir juli 2001
Robbi . . . masih jauhkan perjalanan mencari cinta itu? Sudah dua bulan kusandang predikat sebagai istri. Aku memang selalu menyambutnya dengan senyum, bahkan berdandan rapi, wangi. Aku juga menyiapakan makan, menemaninya ngobrol meski Cuma sebentar (karena ia begitu sibuk diluar), me . . ., ah. Tanpa getar, sebatas memenuhi kewajiban, itu saja. Sebuah kisah dimasa khalifah Umar, memenuhi kepalaku. Kisah seorang laki-laki yang akan menceraikan istrinya, karena sudah tidak mencintainya lagi. Apa kata khalifah Umar? Haruskah rumah tangga selalu ditegakkan dengan cinta? Tidak cukupkah dengan tanjung jawab saja? Tanggungjawab. Ya, kata-kata itu yang selalu kupompakan saat hati mulai gundah. Bagaimanapun aku tetap butuh cinta. Sebuah kekuatan lain yang akan membuatku makin ikhlas berlaku padanya. Bagaimana? Aku hanya manusia biasa. Sangat biasa.


Kadang aku bertanya, apakah ia juga gelisah mencari cinta sepertiku? Entahlah. Aku tidak berani menebak. Aku takut bila kemudian tahu, iapun belum mencintaiku. Lebih dari seharian ia tidak bersamaku. Kerja, rapat, silaturahmi. Brrr, aku? New comer yang tidak tahu
medan, tidak punya teman, belum ada kegiatan. Bisa apa? Aku hanya pergi kalu suamiku mengajakku pergi. Selebihnya aku hanya dirumah berteman buku. Sendiri. Sepi.

Rindunya aku pada keluargaku. Pada teman-teman dekatku. Pada daerah asalku. Mengapa setelah aku jauh, rindu itu begtu mudah hadir dan memaksa air mataku mengalir. Mengapa setelah aku menjadi “milik” orang lain, cintaku pada teman-teman semakin dalam terukir? Ataukah, . . . karena sampai saat ini, aku tetap belum berhasil mencintainya? Ah, terlalu jauh. Bahkan merasa dekatpun belum juga. Sebuah perasaan, yang sering membuatku menangis, tanpa bisa mengatakan apa-apa kepadanya. Aku tahu, ia kecewa saat dalam tangisku itu aku tetap diam seribu kata. Tapi bagaimana lagi? Sebutan suami belum cukup bagiku untuk seketika berbagi. Hatiku jeri, ternyata wanita bukan hanya butuh dicintai tapi juga mencintai. Itulah yang sekarang kupahami.

Aku merasa diproteksi. Aksesku dengan teman-temanku dulu, terlebih yang putra dibatasi. Meski sekedar email atau sms. Teganya. Cinta itu semakin jauh. Salah. Sungguh salah kalau ia pikir, aku bisa mencintainya setelah mereka jauh dari kehidupanku. Cinta seorang perempuan, lahir karena kedekatan perasaan. Dan dia, suamiku belum melewati fase itu. Bagiku.

Awal Agustus 2001
Aku hamil! Alhamdulillah yang terlantun dari bibirku, terasa gamang dihentak perasaan. Suamiku gembira. Aku? Entahlah. Satu amanah lagi bertambah, sedangkan amanah yang lain belum juga tertunaikan dengan baik. Aku tentu saja ingin hamil dan punya anak. Bukankah salah satu tujuan menikah adalah melahirkan generasi baru yang akan menambah bobot bumi dengan kalimah-Nya? Hanya saja… saat aku masih tersengal-sengal membersemainya, saat aku tetap geragaban meraba cinta untuknya, kehadiran makhluk dirahimku itu sungguh membebaniku. Ibu hamil membutuhkan dukungan dan bantuan fisik-psikis yang besar. Terlebih anak pertama. Lalu, bisakah aku mengharapkan tangannya? Sanggupkah mulutku berkata? Aku tetap belum merasa dekat, apalagi mencintainya!

Oktober 2001
Trisemester pertama yang begitu berat. Oh, pantaslah islam begitu memuliakan seorang ibu. Badanku kurus, nyaris tidak ada makanan yang bisa masuk. Sendirian kutanggung semuanya. Ia begitu sibuk. Berangkat kerja pagi-pagi, dan selalu pulang kerumah diatas jam sepuluh malam. Satu yang menghiburku, teman-teman baru. Akhwat yang seolah kakak dan adik buatku. Merekalah tempatku mengadu. Mengingatkanku pada masa-masa lajang dulu. Membuatku betah berlama-lama, bahkan enggan pulang untuk melihat kenyataan diriku. Seorang calon ibu dengan calon ayah disisiku.

Awal November 2001
Cintaaaaa…dimanakah engkau ?! Telah setengah tahun laki-laki itu menjadi suami. Mengapa engkau tetap bersembunyi? Seorang seniorku mengatakan, bahkan ada yang sudah menikah bertahun-tahun tetap belum bisa mencintai pasangannya. Tidak, Ya Allah. Aku tidak mau menunggu selama itu. Bila ibadah seorang hamba akan lebih bermakna dengan kekuatan cinta, apalagi hubungan antar manusia? Wahai, segala sumber cinta, bukakankah hatiku untuknya. Binarkanlah mataku akan kelebihannya, lapangkanlah dadaku akan kekurangannya, bila itu menjadi gerbang akan hadirnya sebuah rasa yang membuatku dekat padanya. CINTA.

Akhir November 2001
Masih belum banyak berubah, cinta yang kucari belum kutemukan. Buktinya, aku tidak merasa sepi ketika ditinggalkan. Kedatangannya bukan bermakna penantian. Meski sikapku tidak banyak berubah dalam hal pelayanan, lagi-lagi tanggung jawab dan penghambaan pada-Nya yang kujadikan sandaran. Sandaran yang kerap limbung ketika hatiku linglung. Yang kadang berderak saat imanku turun. Lalu, malam-malam dan dhuha, lembar-lembar mushaf dan do’a, menjadi suplai energi yang membuatku tidak ingin rugi dengan harga setengah dien ini. Inilah perjalanan terberatku. Mencari Cinta

Akhir tahun 2001
Aku tergugu. Ya Allah, benarkah? Suamiku, benarkah engkau melihatku belum ikhlas menerimamu? Ah, tidak. Bukan itu. Aku tidak berharap apapun darimu. Tidak fisik, harta, ataupun nasab. Aku hanya percaya, engkaulah yang terbaik untukku dari-Nya. Hanya… kalau aku perlu waktu untuk menerima, bukankah itu wajar saja? Aku pernah punya idealita, sebelum menemuimu sebagai realita. Aku pernah menyimpan sekian criteria, sebelum akhirnya aku sadar, bahwa Allah lebih tau segalanya. Aku manusia biasa yang tetap melewati sebuah proses menuju kesempurnaan, yang meski aku tahu tidak akan pernah kudapatkan. Aku ikhlas menerimamu. Aku hanya butuh waktu untuk mencintaimu. Aku tetap pada keyakinanku. Sebuah rumah tangga dakwah tidak hnya butuh sense ibadah. Bukan hanya berdasar kekuatan ruhaniah. Tidak melulu dikompori semangat harakiyah. Ia tetap butuh fitrah mendasar yang menjadi kekuatan hubungan laki-laki dan perempuan. CINTA.

Awal tahun 2002
Barangkali putik cinta itu mulai muncul. Mungkin simpati? kagum? Salut? Whatever. Ia yang begitu gigih membantuku membangun eksistensi dimedan baru. Mengurus organisasi, menyimpan arsip dan data dengan rapi, menemani ketika aku harus loby ke sana-sini, meski aku tahu ia sibuk sekali. Begitu juga dengan persiapan menyambut si kecil. Mungkinkah...ia telah terlebih dahulu menemukan cinta? Ah. Berbahagialah dia, dan aku tentu saja. Aku berharap, tak lama lagi aku akan menyusulnya. Aku tidak ingin membiarkan tepukan tangan itu kosong tanpa suara. Aku juga tidak ingin kembang itu layu sebelum waktunya. Kembang itu ingin kurawat, kujaga agar mekarnya mempesona dan wanginya menebar kemana-mana. Kembang cinta.

Medio Februari 2002
Duniaku sekarang hanya rumah dan klinik. Kegiatan stop. Waktu yang bagus untuk berinteraksi dengan sikecil. Ah, anakku. Betapapun aku masih belajar untuk menerimamu, namun tidak sesulit belajar mencintai ayahmu. Ia orang lain. Hadir tiba-tiba dengan segala apa yang ada padanya. Berkuasa, nyaris tanpa batas. Bagaimana aku tidak tergagap-gagap menemaninya? Bagaimana langkahku tidak tersaruk disisinya?

Sedangkan engkau…engkau adalah bagian daging dan darahku. Separuh nafasku, terhembus padamu. Bahkan satu nyawaku, kubagi denganmu. Aku begitu yakin, cintaku padamu akan hadir memenuhi dada dan sudut hati, tanpa harus melewati waktu panjang yang terkadang serasa tanpa tepi.

Maret 2002
Anakku! Oh, sungguh lain kata-kata itu. Begitu menggetarkan. Mendebarkan. Aku ingin selalu bersamamu. Aku tidak ingin melihat selain kebahagiaan dan kegembiran. Aku ingin berbuat apa saja, memberi apa saja yang kupunya untukmu. Aku…seribu rasa meluap didada. Sejuta asa menggelora dijiwa. Ah, engkaulah sebaik-baik manusia yang kulihat didunia. Ya, Allah…inikah cinta itu? betapa dahsyatnya. Betapa kuatnya. Lalu cinta yang lain…untuknya? aku nyaris lupa.

Awal April 2002
Inilah rindu itu. Anakku dirawat dirumah sakit. Tidak parah memang. Empat hari dia disana, tapi aku merasa hampir gila. Malam pertama, berpisah dengannya, mataku tidak mau terpejam. Mengalirkan air mata dengan suksesnya. Begitu juga saat aku menatap pakaiannya, mencium baunya, bahkan ketika ingat jadwal mandi serta minum ASI-nya. Jiwaku terbelah. Hatiku tercacah. Meski setiap hari aku menengoknya, menempuh jarak dan menerabas aral, tetap saja rindu itu mencengkeram kuat. Bahkan semakin kuat usai berjumpa. Duhai! Inilah sebenar-benar rindu. Bukan sekedar kangen dan rasa igin bertemu. Tetapi, rasa yang mampu menghilangkan separuh nyawa hidupmu atau justru memberikan suplai energi padamu.

Akhir April 2002
Akhirnya. Kutemukan juga cinta itu. Pada seorang laki-laki yang baru dua bulan lalu hadir dalam kehidupanku. Tetapi laki-laki itu memang istimewa. Ia sanggup menguatkanku. Ia bisa menghiburku. Ia terkadang menjengkelkan tetapi selalu cepat aku memaafkan. Ia…yang kini mengasai hati dan pikiran, menyedot hamper seluruh perhatian, bahkan mungkin meraup habis persediaan cinta yang berusaha kusisakan. Aku tidak kuasa menahan. Aku angkat tangan. Suamiku? Yah, aku hanya bisa berharap, kekuatan cintaku pada laki-laki baru itu, akan mampu memancing cintaku padanya. Itu saja.

Aku teringat percakapanku dengan seorang sahabat, sebelum aku menikah.
“ Seperti apa cinta itu menurutmu?” Ia bertanya serius padaku. Aku tercenung.
“Cinta ? Bagiku ? Mudah. Seberapa ia memberi, sebanyak itu ia menerima. Take and give.” Jawabku pasti. Temanku menggeleng, kecut,.
“Cintamu matematis” Bahkan menurutku itu bukan cinta, Lalu kalau sudah tidak ada yang bisa kamu ambil, tidak ada lagi yang kamu terima, cinta itupun hilang begitu saja ?” temanku masih mengejar. Aku mengangguk. “ Tentu. Cinta sudah tidak punya kekuatan. Hampa.” Ujarku.
“Ck. Sungguh, menurutku itu bukan cinta. Cinta hanya kenal kata give. Tidak lain”.
“Itu tidak mungkin!” Sergahku cepat.
"Baiklah. Aku yakin, suatu saat kamu akan menemukan cinta itu. Mungkin terhadap suamimu. Oh, belum tentu. Mungkin tidak. Aku yakin, kamu akan mengerti cinta yang sebenarnya pada anakmu. Ya. Anakmu”.
Temanku betul ternyata. Laki-laki baru itu, yang mengajarkan aku cinta, anakku.

Mei 2002
Sudahlah. Aku sudah mulai lelah. Sudah setahun aku menikah, dan cinta itu masih tetap kabur. Aku menyerah pada waktu. Aku pasrah pada kepastian dan keyakinan akan doa-doaku. Barangkali memang jawaban itu akan datang, kelak. Biarlah apa yang sekarang ada kunikmati dan kuhayati. CINTA, aku tetap setia menanti, tetapi sampai kapan. Ya Allah…kuatkan hamba.

Awal juli 2002
Keberadaan seseorang, baru terasakan saat ketiadaannya. Akan kucoba. Aku pulang kerumah dan tinggal disana. Satu minggu. Suamiku semula keberatan. Tetapi akhirnya mengijinkan. Yah, dengan sedikit rengekan dan tentu saja…rayuan. Ia menemaniku dua hari dua malam. Sebelum kembali ke kontrakan. Cinta memang perlu pembuktian. Hari-hari berlalu… nyatanya? Aku justru berat meninggalkan rumah! Aku masih ingin rersama ibu dan ayah. Suamiku! Dimana dirimu? Kemanakah rinduku?! Aku tergugu. Betapa pedih kurasakan, aku enggan kembali ke kontrakan.

Agustus 2002
“Cintakah kau padaku?” aku bertanya pada suamiku, suatu ketika.
“Cinta. Buktinya, kutinggalkan semua demi mendapatkanmu.” Jawabnya.
“Aku kangen sekali…” katanya ketika pertamakali berpisah.
“Kalau kau tak ada disisiku, aku tidak bersemangat. Malas. Bahkan pulang ke kontrakan ini pun enggan. Makanya jangan nginap lama-lama ya. Dua hari saja. Dan jangan sering-sering.” Ucapnya, ketika lagi-lagi aku menginap di rumah ibu.

Suamiku bukan tipe romantis dan perayu, Dulu, bahkan menurutku ia sangat kaku. Lalu apa arti semua itu? Darimana ia belajar? Cinta? Aku tersenyum, getir. Ia begitu cepat belajar. Ia begitu mudah menemukan. Ia juga begitu gampang membuktikan. Sedang aku?

Mungkin yang sekarang muncul adalah suatu bentuk keprihatinan. Bahwa ternyata, aku masih tertatih mencari cinta. Tetapi aku yakin, suatu ketika aku akan menemukannya. Cinta yang membangkitkan rindu, berhias rasa cemburu, dan berbalur keinginan untuk memberi tanpa mengharap sesuatu. Cinta sejati. Dan aku tahu, kemana aku harus mencari. Allahurrakhmanurrakhim, ya, kesitulah aku menuju.

Agustus 2002
Kupandangi sosok yang tengah lelap di sisiku. Tiba-tiba aku igin menciumnya, haru. (Yogya, Maret 2008 ( Dari Cerpen Nurul F Huda dengan sedikit revisi )

Tidak ada komentar: